Argumentasi UU Sukuk dan Perbankan Syariah

Argumentasi UU Sukuk dan Perbankan Syariah

Oleh Agustianto

Pendidikan Program Doktor Ekonomi Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2004

 

Saat ini, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan RUU Perbankan Syari’ah telah diagendakan DPR-RI untuk segera dibahas pada bulan April mendatang. RUU Perbankan syariah sudah sejak 6 tahun di siapkan dan telah diserahkan kepada pemerintah dan  DPR RI. Demikian pula dengan RUU Sukuk (SBSN) sudah diserahkan  pemerintah (Departemen Keuangan) kepada DPR untuk segera dibahas dan disahkan.

Urgensi UU Ekonomi Syariah

Tak bisa dibantah bahwa Undang-undang memiliki peran penting dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.

Dalam konteks pengembangan ekonomi syariah di Indonesia, peranan Undang-Undang sebagai landasan hukum dan regulasi tidak bisa ditawar-tawar. Ekonomi syariah sebagai praktik yang hidup di tengah masyarakat harus dipayungi oleh hukum sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum, mewujudkan keadilan dan menciptakan stabilitas di tengah masyarakat.

Saat ini ekonomi syariah berkembang pesat di tanah air. Namun regulasinya masih minim, bahkan regulasi tentang obligasi syariah negara belum ada sama sekali, sehingga peluang investasi Timur Tengah yang sangat potensial belum bisa masuk ke Indonesia, karena terhambat Undang-Undang. Singapura dan Malaysia dengan cerdas dan cepat menyediakan payung hukumnya, demikian pula sejumlah negara di Eropa, China dan India. Karena itu pemerintah mendukung sepenuhnya kelahiran Undang-Undang Sukuk (Surat Berharga Syariah Negara dan Undang-Undang Perbankan Syariah. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tgl 16 Januari 2008 pada momentum Festival Ekonomi Syariah  menyebutkan dengan jelas, dukungan dan keinginan pemerintah untuk segera menuntaskan Undang-Undang ekonomi syariah tersebut.  Demikian pula sikap jelas dari Departemen Keuangan dan Menko Perekonomian.

Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) adalah suatu keniscayaan. Kehadirannya didasarkan pada sejumlah argumentasi rasional dan komprehensif. Setidaknya ada 7 (tujuh) alasan rasional yang mendasari kelahirannya.   yaitu 1. alasan filosofis, 2. yuridis,  3. sosiologis, 4. ekonomis, 5. historis, 6. fakta empiris dan 7. karakter doktrinal.

Tujuh Argumentasi

Pertama, Landasan filosofis berisi nilai-nilai moral dan etis yang luhur dari sebuah bangsa. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai kebaikan dan bersifat universal, seperti nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanfaataan, kesusilaan, transparansi dan pertanggungjawaban. Penerapan ekonomi syariah didasari oleh nilai-nilai filosofis tersebut.  Dengan demikian hukum ekonomi syariah menolak segala bentuk eksploitasi, penindasan, penipuan, korupsi, kebohongan dan kebatilan. Misi utama ekonomi syariah adalah tegaknya nilai-nilai akhlak dan moral dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan ataupun negara serta terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran secara adil.

Kedua, secara yuridis maksudnya, kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah didasarkan pada UUD 45. Jadi, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Hal ini mengandung tiga makna, yaitu:

a. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;

c. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).

Melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif  nasion

Ketiga, alasan   sosiologis maksudnya ialah bahwa kehadiran UU Sukuk dan UU Perbankan syariah merupakan kesadaran hukum masyarakat. Secara sosiologis, pelaku ekonomi menginginkan adanya Undang-Undang tersebut, maka ketentuan dan regulasi ekonomi syariah tentang perbankan dan obligasi negara  merupakan pengejawantahan hukum  yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Ekonomi syariah telah menjadi fenomena sosial yang faktual. Jadi,  kehadiran kedua UU  ekonomi syariah tersebut memiliki landasan sosiologis yang kuat. Kelahiran Undang-Undang Sukuk merupakan tuntutan masyarakat Indonesia tetapi bahkan masyarakat  global.

Keempat, alasan ekonomis. Dengan diundangkannya RUU Sukuk (SBSN), maka aliran dana investasi ke Indonesia akan meningkat secara signifikan, baik dari Luar Negeri (utamanya Timur Tengah) maupun dalam negeri. Saat ini Timur Tengah memiliki potensi dana yang besar akibat lonjakan harga minyak dunia, paling tidak sebesar 1,2 triliun dolar US.  Menolak RUU tersebut berarti menolak  investasi  masuk ke Indonesia dan itu berarti menolak kemajuan ekonomi bangsa. Harus disadari, bahwa tujuan ekonomi syariah adalah untuk kemaslahatan seluruh bangsa Indonesia, bukan kelompok tertentu. Semua  komponen bangsa harus berbesar hati dan bergembira dengan kehadiran kedua Undang-Undang tersebut

Kelima, secara historis, pengundangan (legislasi) hukum syariah di Indonesia telah banyak terjadi di Indonesia, seperti UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang selanjutnya diamendemen UU No 3 Tahun 2006. Demikian pula UU tentang pengelolaan Zakat, UU Perwaqafan, dan UU Haji. Undang-Undang yang mengatur hukum untuk umat Islam saja dapat diterima DPR, apalagi Undang-Undang tentang ekonomi yang bertujuan untuk kebaikan, kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara secara universal, jelas semakin penting untuk diterima dan diwujudkan oleh siapapun yang terpanggil untuk kemajuan negara.

Keenam, fakta empiris. Secara faktual dan empiris sistem ekonomi syariah melalui perbankan telah terbukti menunjukkan keeunggulannya di masa-masa krisis, khususnya krisis yang diawali tahun 1997. Ketika semua bank mengalami goncangan hebat dan sebagian besar dilikuidasi, tetapi bank-bank syariah aman dan selamat dari badai hebat tersebut, karena sistemnya bagi hasil. Ajaibnya, bank syariah dapat berkembang tanpa dibantu sepeserpun oleh pemerintah. Sementara bank-bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras dana APBN dalam jumlah ratusan triliun melalui BLBI dan bunga obligasi.Hal itu berlangsung sampai saat ini dalam bentuk bunga obligasi rekap dan  bunga SBI. Dana APBN itu adalah hak seluruh rakyat Indonesia, tetapi rakyat terpaksa dikorbankan demi membela bank-bank sistem konvensional agar bisa bertahan. Perbankan syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi negara dan bangsa. Maka sangat tidak logis dan irrasional, jika ada pihak yang menolak kehadiran regulasi syariah.

Fakta empiris juga membuktikan bahwa ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, Afrika dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga mengakomodasi sistem keuangan syariah. Bank-Bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, HSBC dan lain-lain, sejak lama telah menerapkan sistem syari’ah. Demikian pula ANZ Australia, juga telah membuka unit syari’ah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd. Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah.

Fakta itu sejalan dengan laporan the Banker, seperti dikutip info bank (2006) ternyata Bank Islam bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok muslim, tetapi juga di negara-negara non muslim, seperti United kingdom, USA, Kanada, Luxemburg, Switzerland, Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Srilangka, Fhilipina, Cyprus, Virgin Island, Cayman Island, Swiss, Bahama,  dan sebagainya. Sekedar contoh tambahan, di luxemburg, yang menjadi Managing Directors di Islamic Bank Internasional of Denmark adalah non Muslim yaitu Dr. Ganner Thorland Jepsen dan Mr. Erick Trolle Schulzt.

Sejalan dengan praktik empiris tersebut, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di universitas-universitas Amerika dan negara Barat lainnya. Di antaranya, Universitas Loughborough di Inggris. Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya juga di Inggeris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong, Australia. Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah  bernama Harvard University Forum yang membahas tentang Islamic Finance. Malah, tahun 2000 Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan  konferensi Internasional Ekonomi Islam Ke-3.

Ketujuh, alasan doktorinal. Secara doktrinal, ekonomi syariah bersifat universal dan inklusif. Ekonomi syariah, bukan untuk agama Islam saja, tetapi untuk semua manusia. Universalitas ekonomi syariah karena ia mengajarkan keadilan, kejujuran, kebenaran, kerjasama, tolong menolng,  dan kemaslahatan  manusia secara menyeluruh. Ekonomi Islam mengutuk sikap kezaliman, eksploitasi, penipuan, curang, korupsi, egois, memenrtingkan diri sendiri.  Dalam memerangi riba (bunga/interest), misalnya, semua agama samawi memiliki ajaran yang sama, baik Islam, Yahudi dan Kristen, bahkan para filosof Yunani juga mengutuk sistem riba dalam perekonomian. Para pendeta di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kupang, Palu, Maluku, dan Menado mendukung dan menjadi nasabah bank-bank syariiah.

Penutup

Berdasarkan beberapa alasan dan argumentasi di atas maka tidak perlu ada yang takut (phobi) kepada ekonomi syariah, karena manfaat ekonomi syariah akan dinikmati oleh semua komponen rakyat di Indonesia, bahkan jika diterapkan di skala global, akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.

 

(Penulis, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen IAIN Medan dan Pascasarjana UI)

DEPOSITO SYARIAH ; KARAKTERISTIK DAN DAYA TARIKNYA

DEPOSITO SYARIAH ; KARAKTERISTIK DAN DAYA TARIKNYA

 

Oleh : Agustianto

Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam dan Dosen Pascasarjana PSTTI Universitas Indonesia

 

 

Dewasa ini perbankan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Keberadaannya telah mulai menjamur di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu produk yang dikembangkan dan ditawarkan bank syariah  adalah deposito mudharabah.  Deposito mudharabah, jelas, memiliki perbedaan yang mendasar dengan deposito di bank konvensional. Deposito mudharabah mengikuti prinsip-prinsip mudharabah sebagaimana tertuang  dalam ketentuan  hukum syariah.

Majlis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengelaurkan fatwa mengenai deposito syariah, yaitu fatwa No: 03/DSN-MUI/IV/2000. Menurut fatwa tersebut deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

Perbedaan utama antara deposito mudharabah dengan  dengan deposito bank konvensional, antara lain,  deposito syariah  menggunakan system bagi hasil, sedangkan deposito pada bank konvensional  menggunakan system bunga. Dengan demikian pendapatan dari deposito mudharabah tidak tetap sebagaimana pada bunga, melainkan berfluktuasi sesuai tingkat pendapatan bank syariah.

Selain itu perlu dicatat, bahwa kedudukan deposito mudharabah di bank syariah tidak dianggap sebagai hutang bank dan piutang nasabah. Desosito mudharabah merupakan investasi nasabah kepada bank syariah, sehingga dalam akuntansinya, kedudukan deposito tidak dicatat sbagai hutang bank, tetapi dicatat dan disebut sebagai investasi, biasanya disebut investasi tidak terikat (mudhrabah muthlaqah).

Secara lebih luas berikut ini akan dipaparkan tiga karakter deposito syariah Pertama, keuntungan dari dana yang didepositikan, harus dibagi antara shahibul maal (deposan) dan mudharib (bank) berdasarkan nisbah bagi hasil yang disepaki. Yang menjadi acuan dalam deposito syariah ini adalah nisbah, bukan bunga.

Contoh perhitungan bagi hasil deposito mudharabah : Bapak Usman menempatkan dana deposito investasi mudharabah di Bank Islam sebesar Rp. 1.000.000,- Jangka waktu 1 bulan, dan nisbah bagi hasil 70% : 30% (70% untuk nasabah : 30% untuk bank). Diasumsikan total dana deposito investasi mudharabah di Bank Syariah Rp. 250.000.000, dan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito (profit distribution) sebesar Rp. 6.000.000,-. Maka pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh bagi hasil :

 

 

Kedua, keuntungan (bagi hasil) yang diterima deposan akan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan bank. Hal ini tentu berbeda dengan bunga yang sifatnya tetap. Sedangkan dalam bank syariah bagi hasil yang diterima berfluktuasi. Sistem pehitungan bagi hasil di bank syariah  ada dua jenis, yakni, pertama, profit/loss sharing. Dalam sistem ini, besar-kecil pendapatan bagi hasil yang diterima nasabah tergantung keuntungan bank. Dalam sistem ini bagi hasil diberikan kepada nasabah setelah dipotong biaya operasional bank. Kedua, revenue sharing, penentuan bagi hasil tergantung pendapatan kotor bank. Bank-bank Syariah di Indonesia umumnya menerapkan sistem revenue sharing karena bank syariah lebih berpihak kepada kemaslahatan/kepentingan nasabah dan juga untuk  menghilangkan kecurigaan nmasabah atas penggunaan biaya operasional bank. Jadi, pola ini dapat memperkecil kerugian bagi nasabah. Hanya saja, jika bagi hasil didasarkan pada profit sharing, persentase bagi hasil untuk nasabah jauh lebih tinggi sedangkan nisbah untuk revenue sharing lebih rendah dibanding profit sharing. Tingginya nisbah pada sistem profit sharing sangat logis dan adil, karena segala biaya operasional sudah ditanggulangi oleh shahibul mal (doposan), sementara pada revenue sharing biaya operasional ditanggulangi perbankan syariah.

 

 

Ketiga, adanya tenggang waktu antara dana yang diinvestasikan  dan pembagian keuntungan (biasanya jangka waktunya 1,3, 6, 12 dan 24 bulan). Oleh karena deposito memiliki jangka waktu tertentu, maka  uang nasabah yang telah diinvestasikan di bank syariah  tidak boleh ditarik  setiap saat sebagaimana pada tabungan biasa. kehendak hatinya.
Keempat, Nisbah bagi hasil  deposito biasanya lebih tinggi daripada nisbah bagi hasil  tabungan biasa. Hal ini disebabkan karena masa investasi deposito jauh lebih panjang dibanding tabungan biasa, sehingga peluang return investasinya lebih besar.

 

Kelima, Ketentuan teknis pembukaan deposito mengikuti ketentuan teknis bank, seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan, formulir akad, bilyet, tanda tangan, dsb.

 

Menurut fatwa DSN No 3/2000, Ketentuan Umum  deposito  Mudharabah adalah sebagai berikut :
  1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
  2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
  3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
  4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
  5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
  6. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Daya tarik dan keunggulan deposito mudharabah

Mendepositokan uang di bank syariah cukup menarik. Tidak hanya bagi masyarakat muslim, tetapi juga nonmuslim. Soalnya, dengan sistem bagi hasil, terbuka peluang mendapatkan hasil investasi yang lebih besar dibanding bunga deposito di bank konvensional. Apalagi, bunga deposito saat ini juga cukup rendah Maka, jika ingin mendapatkan return yang lebih besar, deposito bank syariah dapat menjadi alternatif,

Selain itu mendepositokan uang di bank syariah juga akan menciptakan rasa aman, nyaman dan terjamin. Selain aman dan terjamin, mendepositokakjn uang di bank syariah juga akan menciptakan rasa tenang dan tentram, karena  keberadaan uang nasabah tidak saja  dijamin oleh pemerintah tetapi juga mendatangkan rasa tenteram, karena sistemnya dijalannya sesuai syariah. Bagaimana jadinya jiwa kita, jiwa terus dikejar-kejar dosa riba yang demikian berat seandainya kita menempatkan dana deposito di bank konvensional.

Selanjutnya mendepositokan uang di bank syariah berarti membantu pengembangan UKM. Dana yang terkumpul di bank syariah akan disalurkan untuk UKM di  usaha sector riil. Mendepositokan uang di bank syaroiah berarti anda sudah membantu pengembangan sektor riil untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Data menunjukkan bahwa FDR bank syariah senantiasa di atas 100 %. Hal ini berarti bahwa seluruh dana pihak ketiga disalurkan untuk masyarakat, tidak ada yang dimainkan di transaksi derivatif sebagaimana yang banyak terjadi saat ini di bank-bank konvensioal. Keperpihakan bank syariah untuk UKM tidak diragukan lagi.

Produk deposito yang ditawarkan bank-bank syariah juga sekaligus. membantu perencanaan investasi masyarakat. Perencanaan keuangan merupakan sebuah keniscayaan di zaman sekarang. Salah satu alternatif menarik untuk investasi adalah menempatkan dana di bank syariah melalui produk deposito mudharabah.

Hal lain yang perlu diketahui ialah bahwa deposito mudharabah dapat dijadikan sebagai  “jaminan pembiayaan”, sehingga usaha masyarakat bisa tumbuh dan semakin berkembang.

Ide untuk Masa Depan : Deposito Dinar

Selain itu, perlu diketahui bahwa deposito di bank syariah tidak saja dalam bentuk rupiah tetapi juga dalam mata uang asing, seperti dolar. Namun di masa depan kita mendesak pemerintah dan mengadvise bank-bank syariah  agar deposito valuta asing tidak saja dalam bentuk dollar tetapi juga dinar. Dinar memiliki  sejumlah kelebihan sebagai produk deposito. Salah satunya adalah dinar memiliki nilai stabil dan tidak terpengaruh inflasi. Sebabnya, dinar terbuat dari emas sehingga lebih stabil dibandingkan uang kertas. Selain itu, deposito dinar syariah dapat digunakan sebagai tabungan haji terencana bagi masyarakat. Karena dinar lebih stabil, maka nasabah tidak akan dirugikan oleh laju inflasi ketika deposito telah jatuh tempo. Produk ini bagus untuk jangka panjang seperti untuk naik haji dan kebutuhan lainnya.

 



POLITIK HUKUM EKONOMI SYARIAH

POLITIK HUKUM  EKONOMI SYARIAH

Oleh : Agustianto

Program Doktor Ekonomi Islam

UIN Syarif Hidatullah Jakarta

Tahun 2004

 

Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.

Perkembangan perbankan menurut data Bank Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank syariah sangat terbatas di mana hanya ada sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indoensia dengan beberapa kantor cabang, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611 (data Mei 2006). Demikian pula lembaga asuransi syariah, perkembangannya di Indonesia merupakan  yang paling cepat di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang memiliki 34 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan  hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah.  Jumlah BMT juga telah melebihi dari 3.800 bauh yang tersebar di seluruh Indonesia.

Meskipun perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah demikian cepat, namun dari sisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya  masih jauh tertinggal, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa bisnis (hukum dagang) syariah.

 

Urgensi Undang-Undang

Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.

Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional maka hukum di Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu: 1. kepastian (predictability),2. stabilitas (stability), 3. keadilan (fairness), 4. pendidikan (education), 5. kemampuan SDM di bidang hukum (special abilities of the lawyer).

 

Pengertian Politik Hukum

Menurut Moh.Mahfud MD, politik hukum adalah  legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.

Dengan demikian, politik  hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Politik hukum dapat dikatakan juga sebagai jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara.

Pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu, antara lain memagari hukum dengan program legislasi nasional (Prolegnas).

Politik Hukum Ekonomi Syariah

Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:

l  Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

l  Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;

l  Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).

 

Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

l  Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu

 

Sebenarnya,  melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif  nasional

Keharusan tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negara

Perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya  UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.

Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.

Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).

Kedua UU tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system.. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling

Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif  perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah.

Kini tengah dibahas di DPR RUU Tentang Perbankan Syariah yang diprakarsai oleh DPR RI. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah nanti akan semakin meneguhkan dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa  dalam politik hukum nasional, dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuan perbankan syariah.

Program Legislasi Nasional

Menurut Prof. Dr. A.Gani Abdullah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional,  politik hukum yang mengakomodir pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas menjadi penting karena menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat.  UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undagan (Pasal 15 [1]) menggariskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.

Berdasarkan pertimbangan, arah dan penentuan proglenas telah ditrapkan prioritas RUU 2005 sebanyak 55 buah RUU dan RUU 2006 sebanyak 43 RUU. RUU Perbankan Syariah menjadi program RUU prioritas 2005 yang sebenatar lagi segera disahkan DPR.

Selain itu, untuk membangun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, maka Proglenas perlu mendukung legislasi nasional ekonomi syariah dengan mengagendakan dan memberikan prioritas perundang-undangan yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang berkembang, seperti asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, pasar modal syariah yang tercakup di dalamnya obligasi dan reksadana syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah.

Peran IAEI

Penyusunan RUU-RUU tersebut dapat diprakarsai oleh DPR maupun pemerintah sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku. Dalam upaya ini peranan ahli ekonomi Islam melalui organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat dibutuhkan untuk berperan memberikan konstribusinya dalam mewujudkan agenda legislasi nasional ekonomi syariah tersebut.

Keterlibatan IAEI dalam menyiapkan draft RUU yang berkaiatan dengan ekonomi syariah sangat urgen, mengingat IAEI adalah wadah dan kumpulan para pakar dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia yang sangat memahami persoalan-persoalan hukum ekonomi syariah.

 

  • Calendar

    • April 2024
      M T W T F S S
      1234567
      891011121314
      15161718192021
      22232425262728
      2930  
  • Search